RSS

Singkat

Di luar sedang turun hujan.


Sementara-nya float sedang melantun indah dari i-tunes saya.

Harum petrichor tercium dari jendela kamar saya yang sengaja dibuka tak terlalu lebar, agar air hujan tak bisa masuk ke dalam membasahi pipi saya.

Di hadapan saya, ada kopi dalam kemasan kaleng yang akhir-akhir ini jadi teman favorit saya. Kamu pasti tau kan jenisnya?


Saya tidak mengerti apa yang sedang saya alami saat ini. Semuanya terasa begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin kita tertawa menghabiskan waktu bersama, sampai akhirnya, kita memutuskan untuk berbagi kisah dengan diri sendiri.

Maaf, saya maksudnya. Bukan kita.

Kalau kamu kan jelas, masih ada yang mau berbagi kisah dengan kamu.


Kamu pernah tidak merasakan jadi orang yang sama sekali tidak diharapkan, atau pernah tidak ada di posisi tidak sangat diinginkan oleh orang lain?

Saya yakin, tidak pernah. 

Kalaupun pernah, pasti kamu gak akan melakukannya ke orang lain kan yaa. Karena kamu sudah pernah merasakannya.

Masalahnya sekarang, kamu tidak pernah ada di posisi itu, makanya dengan enteng melakukan hal seperti itu terhadap orang lain.


Saya tidak percaya karma.

Bahkan, saya tidak percaya Tuhan akan membalas kejahatan orang lain yang dia lakukan kepada kita.


Saya cuma percaya, apa yang dilakukan manusia itulah yang akan didapatkan juga oleh manusia tersebut.

Keburukan atau kejelekan nanti yang diterimapun bukan bentuk balasan Tuhan terhadap apa yang telah manusia itu lakukan kepada orang lain, tapi memang karena kesalahan manusia itu sendiri.

Jadi, bisa berhenti 'memaksa' Tuhan buat balas perbuatan jahat orang lain ke kamu?



Kepala saya sedang penuh-penuhnya, segala hal yang saya tulis sejak tadi tak jadi apa-apa. Hanya jadi sampah yang berserakan tak berbentuk di pojok ruangan ini.


Sama seperti usaha saya. Tak jadi apa-apa, hanya dianggap sampah. Padahal kepala saya sudah penuh dengan berbagai hal yang saya yakin bisa membuat kamu terkesan. Tapi, sekali lagi, sampah ya tetap sampah.


Iyaa, saya mengerti hidup itu pilihan.

Tapi, bukan berarti kamu bisa mencoba semua pilihan yang diberikan dalam hidup, toh ada beberapa hal yang perlu kamu jaga.

Kalau kamu ngerti sih.


Karena kan terkadang, hidup tidak memberikan kita banyak pilihan selain bertahan, bukan?


Tapi saya juga mulai mengerti bahwa.

Hidup bukan hanya tentang apa yang kita inginkan, tapi juga perkara apa yang orang lain butuhkan.


Karena, seberapapun menginginkan kalau kita tidak dibutuhkan juga, kita bisa apa?

Paling cuma bisa dibohongi.



Percayalah hati, lebih dari ini pernah kita lalui.


Jangan henti di sini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

#Cerpen : Akhir Perjalanan 10

"Dia pasti datang ko, aku yakin itu"


"Udah terserah dia mau datang atau enggak, aku gak peduli. Datang yaa syukur enggak ya udah"

"Far, percaya deh dia pasti datang, sekarang mungkin dia lagi nyiapin kejutan buat kamu, gak kasih kepastian terus nanti tiba-tiba datang bawain kejutan buat kamu"

"Ituu kamuu, dia enggak begituuuu"

"Far, percaya kan sama aku? Udah gak usaah dikhawatirin, dia pasti dateng, itu bakal jadi hari yang gak akan bisa kamu lupakan"

"Ben, udah yaah, dia mau datang atau enggak terserah, aku gak terlalu berharap lagi"


"Far, kamu kangen kan sama dia? Percaya dia pasti datang"


Malam itu dan 3 hari setelahnya, saya berkelahi dengan hati dan ego saya.

Kalau boleh jujur, saya tidak menginginkan dia datang ke sana untuk menemuimu Far, tapi, saya juga tidak ingin melihat kamu sedih karena ketidakhadiran dia di hari spesial mu.

Far, kalau boleh dan jika kamu mengizinkan, saya yang ingin sekali hadir di hari itu, biar bila dia tak jadi datang, saya yang menggantikan, walau saya tau, rasanya pasti beda jauh.

Okeh, kalau boleh jujur lagi saya ingin selalu melihatmu bahagia, tapi pahit betul rasanya melihatmu bahagia tanpa saya terlibat di dalamnya.

Far, hari itu hati saya biru, entah apa yang saya rasakan. Yang jelas, saya tak pernah ingin hari ituu ada di dunia agar tidak merasakan sakit yang menerpa. Tapi, bukankah ini risiko yang harus saya hadapi?

Belum lagi, hal yang harus saya terima berikutnya adalah -apa yang saya lakukan sebelum dia datang, bakal begitu mudah kamu lupakan- saya tak menginginkannya, namun juga tak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya. Buat apa juga dicegah, toh nantinya tetap akan terjadi.


Dua hari saya tak menghubungimu, bukan apa-apa, saya hanya tak ingin menganggu waktumu bersamanya. Saya paham, momen itu adalah momen yang paling kamu tunggu, sekalipun saat bersama saya, momen bertemu dengannya adalah hal yang paling spesial buat kamu.


"Aku gak mau kamu ngehubungi aku selama ada dia di sana, aku gak mau ganggu kalian" begitu ucapku ke Farah.

Hal itu saya lakukan setidaknya untuk menghargai dia, juga untuk menjaga hati saya agar tidak patah terlalu parah,

"Gak! Kamu harus tetap ngabarin aku"

"Far, aku gak mau ganggu kamu, kamu senang-senang sama dia dulu yaah, nanti kalau dia udah pulang, baru kabarin aku"

Hal bodoh macam apa yang saya ucapkan, Tuhan.


Far, saya harusnya paham dari awal dan tidak berharap lebih dengan apa yang sedang kita jalani kemarin.

Karena saya tau akan berujung seperti ini.


Saya lelah Far harus pura-pura baik-baik saja dan seperti tak terjadi apa-apa di depanmu.

Meskipun hari-hari sebelum dan sesudah kedatangan dia, banyak kata-kata saya yang seolah memperlihatkan saya biasa ajaa, tapi kamu tau kan Far, saya begitu hancur?


Setelah ini, saya harus mulai membiasakan diri kehilangan kamu yang biasanya, kamu telah menjatuhkan pilihan, dan bukan saya.


Bagi saya, tidak ada yang lebih istimewa dari ditemani orang yang istimewa di hari yang istimewa juga, kamu pasti bahagia sekali yaah.

Selamat yaa Far.


Dan, momen-momen kamu bersamanya yang sengaja kamu share di media sosial, saya yakin membuat banyak orang iba kepada saya. Maaa....maaff bukan iba, menertawakan saya maksudnya.

Mereka mungkin menganggap saya, pungguk merindukan bulan.

Tapi, abaikan saja soal itu, saya sudah sering ditertawakan manusia 'normal' macam mereka, dan kedengarannya tidak seburuk itu ko.


Saya lebih suka ditertawakan daripada di-belas-kasihani. Serius.


2 malam selama dia berada di samping kamu, saya mengasingkan diri ke stasiun kereta api. Bersama machiato dan sebuah buku yang pernah jadi bahan celaan anak-anak karena mereka bilang saya 'gila' menghadiahkan kamu gituan.


"Buat apa Ben beli gituan?"

"Ada deh"

"Buat Farah?"

"Hahaha masa gua ngasih Farah ginian"

"terus buat apaan?"

"Ada dehhh"

"Hahha udah pasti buat Farah"

"Hahaha, udah mau tau aja sihh"

"Dasaar gilaaa, masa si Farah dikasih gituan"

"Haha udah liat apa yang bakal gua bikin, gak usah komen aja"

"Yaa tapi bro, masa sih Farah dikasih gituan, emang mau?"

"Yaa enggak juga sih, paling kalaupun diterima dibuang ke tempat sampah dibilang gak jelas. Hahha"

"Lagian kamu udah tau bakal dibuang kenapa masih dikasih"

"Gua cuma mau liat, berapa jauh Farah menghargai gua"


Entah sudah berapa banyak kereta yang transit kemudian lewat di stasiun tempat saya menyendiri ini, saya ke sini memang bukan untuk menaiki kereta lalu pergi ke tempat tujuan.

Saya hanya ingin mengasingkan diri dari keramaian, kebisingan yang bersama saya tidak pernah bisa ditolerir.


'Far sedang apa?'

'Masih ingat dengan saya tidak?'

'Pemberian sepele dari saya masih kau simpan, atau sudah jadi penghuni tetap tong sampah?'



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

!!!

Ada beberapa hal yang saya tidak bisa maafkan dan terima dengan mudah begitu saja.


Pertama, kebohongan.

Kedua, kesalahan yang diulang-ulang.


Yang pertama jelas. Siapa yang mau dibohongi? Walaupun dengan dalih "demi kebaikan", "biar kamu gak sakit hati", atau "aku mau jujur tapi, nanti kamu marah"

Bohong yaa tetap bohong.

Gak ada bohong 'demi kebaikan' atau 'supaya gak nyakitin orang lain' toh kalau tau dari orang lain bukan lebih menyakitkan yaah?

Begini, kalau sudah tau bakal menyakitkan orang lain yaa ngapain dilakuin. Kalau udah tau bakal ngerugiin orang lain, yaudah diem jangan ngelakuin hal yang menurut lu salah. Ini udah tau bakal nyakitin orang lain, ngerugiin orang lain, masih dilakuin juga? Pake bohongin orang lain pula lalu didalihin "supaya kamu gak sakit hati" halaah! Stereotip!

Pernah denger kalimat "katakan kebenaran walaupun itu rasanya pahit"??

Saya lebih suka menghargai kejujuran walaupun terdengar atau berdampak menyakitkan nantinya, dibanding harus dimanis-manisin dengan kebohongan kemudian timbul kebohongan berikutnya. Gituu terus karena memang sudah terbiasa bohong.

Saya orangnya gampang percayaan. Bukan karena bodoh atau enggak mau cari tau, tapi, karena saya ingin juga orang lain gampang percaya sama saya.

Buat saya, kepercayaan orang itu lebih dari segalanya. Dan, saya akan berusaha jaga itu dengan semampu saya. Sementara kepercayaan saya buat orang lain, terserah mereka mau dijaga atau tidak, atau malah nantinya mereka mau bohong atau mengabaikannya juga itu hak mereka.

Singkatnya, perkara jujur itu urusan lu sama Tuhan. Saya sebagai manusia cukup percaya saja apa yang lu bilang.



Kedua,

Kesalahan yang diulang-ulang.

Kesalahan sekali itu bagian dari pembelajaran, kedua itu ceroboh, ketiga dan seterusnya itu bodoh.

Manusia gak luput dari kesalahan, toh seperti kalimat di atas, kesalahan pertama itu bagian dari pembelajaran, wajar, belum tau makanya salah supaya nanti untuk hal seterusnya bisa lebih baik dari hal yang dilakukan sebelumnya.

Kedua kali kesalahan itu dilakukan, mungkin khilaf, ceroboh, atau apalah saya gak tau, tapi yang jelas ada 'faktor lain' yang ngebuat kesalahan itu dilakukan lagi padahal udah tau kebenarannya. Sebut saja kecelakaan deh untuk hal kedua ini.

Kesalahan yang dilakukan ketiga kali dan seterusnya itu, maaf saya katakan bodoh.

Kenapa?

Yaa, bisalah yaa mengartikan sendiri dalam arti singkat.



Bagi saya, saya cuma ingin memperlakukan orang lain seperti halnya saya ingin diperlakukan oleh mereka. Cuma itu setidaknya yang bisa saya lakukan.

Makanya kenapa, baik, percaya pada orang lain itu hal yang paling mendasar yang harusnya dilakukan jika ingin diperlakukan demikian oleh orang lain.

Tapi, jika orang lain memperlakukan kalian di luar keinginan kalian ya udah biarin aja, toh perkara orang lain mau balas kebaikan kalian atau tidak itu kan urusan mereka, urusan kita tetap berbuat baik saja sama mereka. Toh, Tuhan tidak pernah tidur kan.





Hahha!!

Saya nulis ini maksudnya apaa yaah. Tapi, entahlah di kepala saya lagi banyak hal yang enggak bisa disampaikan dengan kata-kata. Takut menyakitkan orang lain. Padahal ini disebabkan oleh orang lain juga.

Di dada saya banyak hal yang saya ingin utarakan, tapi entah ke mana. Saya tidak terbiasa cerita ke manusia lain yang justru menjadi penyebabnya.




Tuhan, maaf.

Boleh saya bersujud kali ini??



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

#Cerpen : Akhir Perjalanan 8

Akhirnya hari itu datang juga yaa Far.


Hari dimana, kita bakal dipisahkan oleh jarak.

Hari dimana yang mungkin, kita nantikan cepat datang sekaligus tidak kita inginkan.

Kadang, hidup selucu itu memang.

Far, kamu tau?

Malam sebelum hari itu datang, saya gak bisa tidur. Di kepala saya penuh sekali dengan memori kita berdua, saya, kamu, dan mereka-mereka yang saat ini sedang terlelap dan menunggu hari esok tiba.

Saya mau mengucapkan terima kasih banyak untuk mereka yang sudah repot-repot membantu saya menyiapkan kejutan kecil untukmu.

Saya juga mau minta maaf untuk bapak-bapak polisi yang sudah saya tabrak hanya untuk menghindari ditilang, padahal saya tidak tau salah saya apaa.

Namanya juga cowok.


**

"Minggir mas minggir" ucap seorang polisi yang sudah menunggu saya di depan.

Saya meminggirkan motor sambil melihat ke arah belakang, memastikan bahwa dua orang polisi yang tadi saya tabrak karena ingin memberhentikan laju motor saya dalam keadaan baik-baik saja.

"Kalau naik motor pelan-pelan mas" ujar polisi itu lagi.

Saya tidak tau kenapa saya diberhentikan, saya tak melanggar lalu lintas, helm pun saya kenakan dua bersama teman saya. Lampu depan saya nyalakan. Akal-akalan saja polisi ini.

"Boleh liat surat-suratnya?"

"Ini pak" ucap saya sambil menyerahkan surat yang diminta oleh polisi tersebut.

"Simnya?"

"Ketinggalan di Jakarta pak" ucap saya asal.

"Duh ko bisa mas, harusnya sim itu selalu dibawa karena penting"

"Iyaa pak maaf"

"Ktp boleh liat?"

"Boleh pak, ini" saya menyerahkan ktp yang diminta oleh polisi tersebut.

Kalau boleh jujur, kondisi badan saya tak memungkinkan untuk saya berlama-lama di sana. Semalaman badan saya sampai pagi sebelum kejadian ditilang itu tak bisa digerakan, lemas, mual pula, ditambah perilaku oknum polisi tersebut yang meminta untuk 'titip sidang' dalam bahasa dia padahal bilang aja minta duit bikin saya tambah mual.

"Kalau sidang tanggal berapa pak?"

"Kalau mas ikut sidang, tanggal 18 mas, stnk saya tahan"

"18? Saya udah balik ke Jakarta tanggal segitu mah"

"Iyaudah, mas 'titip sidang' ajaa"

"'Titip sidang'? Caranya?"

"Iyaa mas bayar denda kesalahan mas, ini keterangannya" sambil menyodorkan sebuah buku panduan mengenai biaya-biaya yang harus saya bayar karena kesalahan saya.

"Mati gua"

"Kenapa mas?" Ucap oknum tersebut heran.

"Gapapa pak"

Saat itu saya tak membawa dompet, uang saya pun sebagian sudah saya belikan sesuatu untuk memuluskan rencana saya memberikan kejutan untuk Farah.

Melihat nominal yang ada di buku panduan tersebut gimana saya gak kaget dalam kondisi gak bawa uang juga.

"Eeeee gini pak, uang saya gak ada segitu, gimana pak?"

"Yaudah kalau gitu mas ikut sidang aja"

"Yaah pak, saya sudah kembali ke Jakarta tanggal segitu, gimana dong" antara memelas atau memang sudah tak ingin berlama-lama di sana, saya akhirnya mengambil beberapa lembar uang yang tersisa di saku saya lalu memberikannya ke oknum polisi tersebut secara yaaa kalian lebih paham lah yah caranya.

"Makasih yaa pak, saya pamit dulu"

"Iyaa hati-hati mas"

"Bapak yang hati-hati pak"

Ucap saya lirih.


***

Sesampainya di tempat saya tinggal, saya tak bisa lagi menahan kondisi tubuh saya, saya ambruk dengan suhu tubuh yang sangat tinggi.

Badan rasanya tak bisa digerakan lagi, namun kalau saya kalah dengan kondisi saya, saya akan gagal membuat kejutan untuk Farah, dengan sekuat sisa-sisa tenaga yang saya miliki, saya berusaha sekuat mungkin untuk bangun mempersiapkan semuanya secara spontan dan sederhana.

Saya meminta bantuan teman-teman saya untuk terakhir kalinya, sekaligus meminta maaf jika selama tinggal bersama mereka, saya banyak merepotkan.

Setelah semuanya siap, saya juga bersiap untuk menjemput Farah di tempat kediamannya, namun tubuh saya gak bisa diakali, saya gak sanggup untuk berjalan menjemputnya.

Beruntung hari itu, teman-teman saya bersedia membantu untuk menjemputnya.


Far, siang itu saya berterima kasih kepada semesta, semuanya berjalan dengan lancar.

Hari itu, hari terakhir kita di sana, hari pertama saya melihat kamu menangis terharu karena bahagia, saya senang melihatnya.

Setidaknya, ada salah satu hal yang bisa saya buat berkesan untukmu, walaupun nantinya saya sadar, semua itu akan hilang setelah dia datang.

Semua yang saya lakukan hari itu, akan terhapus setelah kalian bertemu, tapi, saya tetap berusaha untuk melakukan yang saya bisa untukmu selama kamu masih bersama saya.

Soal nanti, semuanya akan hilang seiring berjalannya waktu dan kedatangan dia, biar menjadi urusan belakangan.

Far, hari ituu terasa begitu cepat berlalu, detik, menit, jam terasa sangat begitu cepat, waktu telah memasuki senja, itu artinya saya akan kehilangan kamu entah untuk waktu yang kapan.

Saya juga harus sudah mulai meng-ikhlas-kan kalau kalau nanti seiring kedatangan dia, kamu akan melupakan saya.


Kamu ingat tidak?

Apa yang kamu katakan sesaat setelah kita berpisah nanti?



Kamu pasti lupa yaah?


Saya juga tidak ingin mengingatkannya, buat saya terlalu sulit untuk diungkapkan lagi, saya tidak ingin menagihnya, toh kalaupun kamu lupa biarlah semua berlalu seperti sekarang adanya.



Kau hanya membuatnya tertawa, bukan bahagia. Kau hanya penghibur dan dia hanya terhibur.


Mungkin, kali ini saya sepakat dengan kalimat Karizunique di atas. Saya hanya bisa membuat mu tertawa bukan bahagia, karena kamu sudah memutuskan untuk bahagia dengan siapa.


Saya tidak mengerti awal tujuan saya menulis cerita ini, yang pasti, kamu tau kan?

Saya tidak suka berbagi kisah dengan siapapun kecuali dengan diri saya sendiri. Saya enggan merepotkan orang lain untuk menyediakan waktu dan telinganya untuk mendengarkan cerita saya. Termasuk ke kamu.


Maaf, kalau selama ini sering merepotkan.


Maaf, kalau selama ini sudah menganggu kehidupanmu dengan berbagai cerita tidak penting saya.


Dan, maaf sudah membuatmu repot karena harus dirindukan manusia seperti saya.





Far, sekarang semuanya sudah berubah. Entah kenapa, harusnya saya sadari dari awal bukan malah menyesalinya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS