RSS

22!

Gak terasa udah menginjak umur segini, padahal baru tahun kemarin rasanya umur saya 21 tahun, tahun ini udah nambah ajaa jadi 22.


Tahun besok, 23

Tahun besoknya lagi, 24

Tahun besoknya besoknya lagi, 25

Tahun besoknya besoknya besoknya besoknya lagi, besok ajalah ngitungnya yaah.


Di umur segini, belum banyak pencapaian yang saya dapatkan. Padahal usaha dan do'a insyaAllah tak pernah berhenti saya lakukan dan haturkan.

Mungkin, Tuhan mau liat lebih bagaimana perjuangan dan pengorbanan yang saya lakukan sebelum memberikan saya sebuah kepercayan.

Entah itu kesuksesan, atau apapun yang menurut Tuhan pantas titipkan.

Yang jelas, janji Tuhan itu pasti.

Gak kaya janji pacar kamu, gebetan kamu.

Yang bilang selamanya, lalu kemudian mendua.

Atau bilang, takkan pisah namun akhirnya pergi juga.


Di umur yang sekarang, saya tidak ingin banyak permintaan.


Hanya minta diberikan kesehatan serta kesempatan untuk membahagiakan orang-orang di sekeliling saya.


Terutama Ibu saya.

Setelah kepergian Ayah, saya juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu saya.

Semoga kau mendengar ini Tuhan.


Dan, Ayah.

Anak lelaki-mu kini sudah beranjak dewasa, sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Walaupun, masih banyak hal-hal sepele yang sering saya besar-besarkan sehingga berujung kekhilafan, tapi yang jelas, saya akan terus belajar untuk bisa seperti mu, walaupun kesempatan untuk menyamai hampir mustahil paling tidak mendekati.

Bahagia di surga yaa, yaah.


Dan, berikut adalah sebagian dari beberapa pengharapan teman-teman sejawat saya.

Semoga apa yang mereka do'akan, biaa terdengar dan dikabulkan Tuhan.

Adaa amin?












Terima kasih buat do'a dan harapan kalian, semoga apaa yang kalian semogakan bisa didengar dan dikabulkan Tuhan.

Masih banyak hal lain yang ingin di share mengenai hari ini, tapi mungkin lain waktu saja.


Boleh saya minta amin???

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Saya Anak Mamah.

Saya mau cerita sedikit tentang seseorang yang saya rasa paling berpengaruh buat hidup saya. Dulu, sekarang, dan sampai nanti.


Seseorang yang dengan tulus menempatkan nama saya di dalam do'anya.

Seseorang yang dengan keringat dan air matanya membuat saya seperti sekarang ini.

Seseorang yang (mungkin) rela menukar kebahagiaannya dengan kebahagiaan saya.

Yup, dia adalah Ibu saya.

Calon mertua kalian.
(Buat reader blog saya yang wanita)


Saya lahir dan besar dari keluarga yang biasa-biasa ajaa.
Dengan dua orang kakak-kakak perempuan yang sama cantiknya dengan ibu saya.



Alkisah.

Hiduplah sekeluarga dipinggiran kota. Bapak berkebun dan bertani di ladang milik pak Budi, ibu menanak nasi di dapur, kakak berangkat ke sekolah, sementara adik bermain bola di tanah lapang.

Siang hari, sekembalinya bapak dari ladang, ibu sudah selesai menanak nasi. Kakak pun sudah kembali dari sekolahnya, adik? juga sudah kembali setelah bermain bola.

Mereka berkumpul di rumah untuk makan siang dan melaksanakan sholat berjamaah di rumah yang asri dan teduh.

Di sekeliling rumah, masih banyak pepohonan yang rindang dan lebat, tempat mereka sekeluarga melepas penat dan lelah dengan tidur-tidur di bawah pohon hanya dengan beralaskan tikar ukuran 2x2 meter. kicauan burung dan hembusan angin, bisa membawa mereka sedikit melupakan kerasnya kehidupan di pinggiran kota, yang setiap saat dihantui dengan perasaan was-was takut akan apa yang mereka punya sekarang tiba-tiba berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik penghasil limbah, dan perumahan-perumahan elit yang untuk memimpikan tinggal di sana saja mustahil apalagi untuk memilikinya.

Ketakutan akan kehilangan mata pencaharian, karena ladang untuk berkebun dan bertani berubah menjadi singgasana megah dari sang empunya uang, kekuasaan, dan jabatan.

Kakak takut jika tak bisa melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan semakin tinggi, namun harga tinggi tak sebanding dengan esensi ilmu yang didapat. Biaya pendidikan tinggi hanya untuk renovasi bangunan sekolah dalam menampakan "eksistensi"nya saja tanpa menambah kualitas ilmu yang diajarkan dan didapatkan oleh murid. Hingga timbul lah generasi yang tau ilmu dari perkataan pengajarnya saja lalu kemudian menelan mentah-mentah tanpa mau mencari tahu lebih jauh. Sekolah dijadikan sebagai tempat untuk doktrinisasi, sehingga hanya menghasilkan generasi penerus bangsa, bukan perubah.
Toh, bangsa ini tidak butuh penerus. Apa yang mau diteruskan dari kebobrokan bangsa ini?
Bangsa ini butuh generasi perubah. Generasi yang mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik lagi.


Adik takut kehilangan tanah lapang tempat bermain sepak bola, kasti, benteng, petak-umpet, galasin, dan berbagai macam permainan tradisional sederhana namun mengasyikan lainnya. Adik khawatir, tanah lapangnya berubah jadi real estate, apartemen, atau perumahan dengan mencatut nama residence lainnya, yang rumah satu dengan rumah lainnya tak ada beda. Rumah-rumah yang meski berdekatan, namun tak saling mengenal tetangga satu sama lain.
Anak-anak pun akan kehilangan masa kecil indah nan bahagia yang nantinya tergerus oleh gadget dan permainan modern lain.
Anak-anak yang berlari kencang mengejar satu sama lain, saling bersembunyi, mencari, lalu menemukan akan hilang oleh generasi yang terus menunduk.

Bukan.
Bukan menunduk karena terlalu banyak ilmu seperti halnya peribahasa padi.
Namun, menunduk menatap nanar ke arah gadget mereka masing-masing tanpa diawasi oleh orang tua yang juga sedang asyik berinteraksi dengan orang lain via media sosial.


Tidak hanya itu,
Bapak, ibu, kakak, dan adik pun khawatir kehilangan tempat tinggalnya yang juga tak luput dari gerusan pembangunan yang tak dapat dihindari.

Pembangunan dan penggusuran lahan untuk dijadikan perumahan elit nan megah, apartemen, atau gedung-gedung pencakar langit membuat mereka takut kehilangan hunian mereka nan asri dengan berbagai pohon rindang di pekarangan rumah.



Sebentar.

Kenapa tulisan saya tentang ibu ini jadi melenceng ke persoalan sosial macam gini??

Mana tulisan tentang Ibu saya?

Apaa korelasi judul dengan isi dalam tulisan kali ini?


Baiklah, saya jelaskan.

Seorang ibu, tak pernah mengungkapkan secara langsung bahwa ia sangat menyayangi anaknya.

Semarah apapun beliau, tak lain karena kasih sayanya kepada sang anak.

Do'a nya, adalah cara beliau memperlihatkan kasih sayangnya dan memeluknya.

Tidak di depan sang anak.

Melainkan langsung di depan sang Pencipta.


Tulisan saya kali ini, bukan untuk menceritakan betapa saya menyayangi beliau.



Seperti yang beliau lakukan.

Saya pun menjaga dan memeluk beliau lewat do'a.

Seraya berharap, Tuhan bersedia memberikannya kesehatan serta umur yang panjang untuk tetap bisa bersanding di samping saya seperti saat ini.

Ammiiinnn.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mahasiswa Tingkat Akhir

Saya memasuki satu fase perkuliahan dimana -lebih baik nikah aja dibanding harus ngerjain tugas akhir yang penuh revisian dosen yang kadang gak jelas salah di mananya- dalam hidup saya.


Iyaa, sekarang saya resmi menyandang predikat mahasiswa tingkat akhir.

Entah harus seneng atau sedih.

Seneng karena bentar lagi lulus dan menyandang gelar di belakang nama.

Sedih karena kalau hal di atas terjadi, saya gak tahu mau ajak siapa ke wisuda saya buat mendampingi.

Eh gimana-gimana??

Iyaa jadi begitu deh pokoknya mah.


Saya itu kuliah di Fakultas Agama Islam, di salah satu universitas Islam di Jakarta.

Kuliah di Fakultas Agama Islam tuh enak gak enak.

Enaknya, bisa banyak memperdalam ilmu agama sebagai bekal saya nanti di akhirat. Karena sesungguhnya ilmu dunia saja tidak cukup untuk membawa kita masuk surga.

Asiiiikkk.

*benerin sarung*


Tapi, ada juga gak enaknya.

Gak enaknya yaa gituu.


Saya jadi tahu kalau hal-hal enak di dunia versi saya ternyata kebanyakan haram dan dilarang dalam Agama.

Lalu kenapa jadi gak enak?

Iyaa gak enak, karena saya tahu lalu kemudian mikir dan merasa banyak dosa.

Kalau saya gak tahu kan saya tetep bisa melakukannya tanpa mikir itu haram atau enggak.

Astagfirullah

Becanda-becanda yaah jangan dianggap serius.


Pas awal masuk kuliah itu, saya berpikir ini di fakultas agama Islam, dresscode buat kuliahnya apakah harus pake sarung lalu baju muslim dan bersorban gitu gak yaah buat pria. Hal ini terlintas setelah saya memperhatikan busana yang dikenakan oleh para wanita di fakultas tersebut yang semuanya memakai jilbab, tanpa terkecuali.

Astagfirullah.

Baru masuk kuliah ajaa udah perhatiin wanita.

Tapi, syukur alhamdulillah kekhawatiran saya tak terwujud karena ternyata kuliah di fakultas agama Islam tidak harus menggunakan kain sarung, baju muslim, serta bersorban bagi yang pria apalagi harus memakai hijab ala-ala Dian pelangi. 

Hanya cukup memakai pakaian yang rapih serta sopan saja.

Alhamdulillah.

Hati dan batin saya lega mendapat kabar tersebut.


Di FAI, saya bersatu dengan macam-macam jenis manusia lain dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat, budaya, serta kulture yang berbeda menjadi satu kesatuan demi satu tujuan dan cita-cita yang mulia, yaitu menutut ilmu di Fakultas Agama Islam.

Allahu Akbar!

Tapi, berhubung Fakultas Agama Islam teman-teman saya kebanyakan datang dari pondok pesantren.

Iyaa, pondok pesantren beneran yang buat lulus ajaa butuh beberapa tahun serta harus hafal kitab-kitab dalam bahasa arab.


Bukan pesantren yang cuma 3 hari lalu lulus setelah di hari terakhir bayar iuran buat buka bersama.

Itu pesantren kilat namanya.


Ada perasaan minder ketika bergaul sama mereka, karena kadang mereka kalau lagi ngumpul meskipun bukan dari pondok yang sama tapi ngomongnya pake bahasa arab, sedangkan di situ ada saya.


Saya mendengar percakapan sekumpulan manusia pake bahasa arab cuma bisa planga-plongo gak jelas, karena berasa lagi di Timur Tengah sementara saya belum punya paspor takut di deportasi.

Kan gak lucu.

Mahasiswa di deportasi lantaran tidak fasih berbahasa Arab padahal ia berada di wilayah bagian Indonesia dan tak jauh dari Ibukota.

masuk di koran lampu merah.

Halaman depan.

Depan polsek.

Polsek Timur Tengah.


Awal-awal kuliah pokonya tak terduga lah buat saya.

Ikut-ikutan demo padahal gak tahu apa yang jadi masalahnya.

Ikuta-ikutan aksi cuma karena ingin dapet makan siang, makan siang dapet saya milih langsung pulang. Karena merasa tuntutan saya sudah terpenuhi.

Ikut-ikutan bakar ban, bakar ayam, bakar ikan sampe bakar rumah.

Dengan menggunakan api.

Api cemburu.


Semua pengalaman itu saya dapet dengan penuh perjuangan, padahal gak penting.

Iyaa emang kita mah gak pernah dianggap penting sekalipun sudah berjuang.


Tapi, makin ke sini saya makin banyak belajar, mengerti, lalu kemudian berusaha untuk memahami.


Tidak langsung mudah untuk terprovokasi melakukan suatu aksi tanpa barang bukti.


Saya malah jadi apatis, dan berusaha tidak mendengar semua celoteh-celoteh yang meng-atas-nama-kan kepentingan bersama, kepentingan rakyat. Padahal dibalik itu semua ada kepentingan pribadi yang lebih ingin diwujudkan.


Dan, sekarang memasuki semester akhir saya malah sudah bisa membaca keadaan sekitar dan mengetahui apa yang orang-orang inginkan dari saya.

Apaa saja itu?


Nanti-lah yaah, saya cape ngetiknya dilanjut nanti ajaaa

Bye!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perspektif.

Kita hidup di zaman serba instant, modern, dan globalisasi. Dimana tidak ada lagi jarak antara satu dengan yang lain. Tinggal lihat hape searching atau baca portal berita kita sudah tau peristiwa apa yang terjadi di tempat yang jauuuhh dari tempat kita saat melihat peristiwa tersebut.



Di zaman yang sudah maju ini, peradaban berkembang pesat luar biasa. Salah satu hal yang bisa dicatatkan di dalam sejarah perkembangan manusia.


Tapi, mengapa manusia masih suka mengingat hal-hal dari masa lalu bahkan cenderung mempermasalahkannya?

Secara berulang-ulang, terus-menerus.

Lalu di mana esensi dari jaman yang katanya modern ini??

Haramnya hari valentine, larangan Saur On The Road, toleransi terhadap orang yang sedang berpuasa serta banyak masalah-masalah yang sebenarnya kecil tapi dibuat sedemikian luar biasa oleh ulah manusia.

Terus-menerus, berulang-ulang, tahun ke tahun.

Masalahnya sama.

Ributnya sama.

Ngaku bangsa yang maju, modern tapi pikiran masih di situ-situ ajaa.


Sibuk ngasih komentar, kritik, tapi tak memberikan solusi.


Salah?

Tidak.

Toh kebebasan kita berpendapat diatur dalam Undang-Undang, jadi setiap orang berhak berkata apapun sesuai dengan kemauan dan kemampuan berbicara serta berpikir yang ia miliki.


Tapi, yaa tolong-lah.

Kalau kasih kritik tanpa memberikan solusi juga gak akan berpengaruh apa-apa.


Tiap tahun, lihat.

Hampir semua lini masa penuh dengan hal-hal yang sudah pernah dibicarakan di tahun sebelumnya.


14 februari, yang diperingati sebagai hari valentine.


Kalian lihat twitter, facebook, atau media sosial apapun pasti banyak orang memperbincangkannya dengan berbagai kontroversi dan perdebatan mengenai boleh-tidak, atau haram-tidak.


Padahal, tahun sebelumnya mereka sudah pernah membahas hal yang serupa, bahkan di tahun sebelum, sebelum tahunnya juga sudah dibicarakan hal tersebut.

Lalu kenapa kembali dibahas?

Belum bisa move on?

Kehabisan bahan buat status di media sosial?


Sama seperti halnya masalah SOTR, toleransi terhadap orang yang berpuasa, sampai mengucapkan selamat hari natal bagi mereka yang merayakan.


Masalah tersebut tiap tahun diulang-ulang terus, seperti tak ada hal lain yang bisa dibahas yang tentunya lebih bermanfaat.


Lalu klaim-mengklaim pun terjadi.


Pembenaran dilakukan atas dasar berbagai aspek.


Padahal, hal yang harusnya dicari oleh manusia dalam suatu peristiwa adalah kebenaran, bukan pembenaran. Atas berbagai aspek apapun.


Karena kebenaran, pasti

Sementara pembenaran adalah perspektif manusia atas sebuah peristiwa yang terjadi.


Seperti tulisan saya ini.

Saya sedang menjadi seorang yang sok tahu, atau katakan-lah paling benar. Menurut saya tentunya.

Tapi, kan belum tentu menurut kalian yang baca.

Bisa ajaa saya salah di mata kalian.


Bisa saja mata kalian yang salah karena repot-repot mampir lalu baca tulisan ini.

Hehehe


Dan, untuk penutup.

Saya hanya akan menyampaikan beberapa kata saja.












Beberapa kata.


Sekian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS