Sayaa tidak tau mau saya buat berapa seri cerita ini. Yang jelas, makin saya mengingat hal-hal di masa lalu, makin saya tak bisa beranjak dari sana.
Stagnasi.
Saya tak menginginkan itu.
Tapi, untuk saat ini biarlah saya menyelami masa lampau untuk mengenangmu dan menceritakan betapa bahagianya saya sewaktu kamu masih di sisi saya.
Kamu tak keberatan kan Far?
**
Namanya Farah, saya tak tau jelas dia berasal darimana, yang pasti pertemuan saya dengannya berjalan biasa saja, tak ada yang menarik bagi saya.
Dia seperti wanita kebanyakan pada umumnya, hanya terlihat lebih modis dari wanita yang saya kenal selama berada di sana.
Yang seperti ini sihh, tak jarang saya temui di kota asal saya, Jakarta, makanya nampak biasa saja.
Sejauh ini seperti itulah pandangan saya saat pertama kali melihat dia, dengan jilbab coklatnya, almamater kebanggannya, serta snapback yang digunakan untuk melindungi hijabnya dari terpaan matahari siang itu.
Begini, saya jelaskan latar tempat kita bertemu dulu, supaya kalian bisa menyimak dengan baik cerita ini.
Saya berkenalan dengannya di sebuah warung sederhana yang berada persis di depan tanah lapang yang akan digunakan untuk upacara agustusan.
Kebetulan saya dan dia hari itu akan menghadiri upacara agustusan yang diadakan tiap tahun secara rutin.
Di sana saya tak mengenal banyak orang, beda dengan teman-teman saya yang bisa sampai bertemu lalu reunian, makan-makan dengan para sahabatnya, lalu saya?
Makan saja enggan, apalagi harus berbaur dengan orang yang belum saya kenal.
Rasanya saya tak mau merepotkan diri saya mengenal mereka lebih jauh, mereka pun nampaknya enggan direpotkan karena harus mengenal saya.
Kembali ke Farah, makhluk yang satu ini sedang berbaur bersama teman-temannya, siap-siap untuk menyantap makanan yang disediakan.
Saya heran, perkenalan saya yang biasa saja malah membuat saya penasaran untuk memperhatikan tingkah laku dia. Mungkin karena tak ada hal lain yang saya kerjakan saat ituu.
Seminggu setelah perkenalan tak disengaja itu, pertama kalinya saya jalan dengan Farah.
Saya ingat, hari itu hari jum'at, di tengah cuaca yang memang dalam keadaan kemarau saya diajak jalan siang hari.
Begini yaa Far, saya jelaskan.
Di rumah saja, saya tak pernah keluar di jam-jam sehabis dzuhur sampai ashar, ini kamu ngajak saya keluar jam 2 siang?
Yaaa, dengan senang hati saya terima ajakanmu.
Kamu harus tau, berapa ribetnya saya waktu pertama kalinya ingin pergi denganmu, tanya saja teman-teman saya, berapa kali saya harus ganti baju dan mencocokan dengan apa yang ingin saya pakai.
Singkat cerita, siang ituu saya berusaha mengenalmu lebih jauh lewat sudut pandang saya, sepanjang jalan mengayuh sepeda denganmu, saya tak henti-hentinya memperhatikanmu sebagai cara untuk dapat melihat bagaimana kepribadianmu.
Kearifan lokal di sana, membuat hari itu berbeda dari hari saya biasanya.
Menyusuri sungai yang saya tak mengerti esensinya apa, karena hanya naik getek dari ujung ke ujung untuk menyebrang, tapi kau tak memilih turun malah memutuskan untuk tetap di sana kembali menyebrang.
Dasar absurd!
"Kamu anak keberapa?" Farah membuka pembicaraan sore itu.
"Ke-tiga, kenapa?" Ujar saya.
"Oh, ketiga, dari berapa bersaudara?
"Tiga"
"Anak terakhir berarti?"
"Iyaa, kenapa sih?"
"Pantesan manja!"
"Idihh!! Songong. Kamu belum kenal aku lama udah berani ngejudge aku manja. Kamu sendiri anak keberapa?"
"Aku? Anak pertama dong"
"Ohh, pantes otoriter"
"Hiihhh enak ajaa"
"Iyaa, anak pertama kan biasanya otoriter"
"Ituu kakakmu kali, aku mah enggak"
"Ahhh sama ajaaa"
"Aku enggak, orang papah juga kalau aku ke mana-mana harus selalu ngabarin dia, aku lagi apa, di mana, sama siapa, kalau pulang jangan malem-malem"
"Ituu tandanya papah kamu sayang dan peduli sama kamu"
"Iyaa aku ngerti, tapikan"
"Banyak loh orang yang berharap punya papah kaya papah kamu, kamu itu contoh buat adik-adikmu, makanya papah kaya gitu"
"Iyaa aku ngerti, tapi.."
"Udaah ahh gak usah pake tapi-tapian, dasar otoriter"
"Hihhh anak manjaaa"
"Hehh!!"
"Manja manjaaa,, manjaa manjaaa"
Dia sangat menyebalkan Tuhan, sungguh.
"Far, aku pulang dulu yaah udah sore"
"Iyaah, hati-hati yaah, kalau udah sampe kabari aku"
"Iyaaahh, aku pamit yaah"
"Jangan lupaa kabari kalau udah sampe"
Saya tinggalkan Farah, untuk bergegas kembali ke tempat saya, karena hari juga mulai sore dan takut kemalaman, berhubung saya pendatang baru di sana, jadi gak boleh pergi lama-lama, begitu pesan dari teman-teman saya.
Sesaat setelah saya mengayuh sepeda tiba-tiba saya memarkirkan sepeda saya di pinggir jalan, karena terganggu sesuatu.
Triiiiiittttt..triiiiitttt..trriiiiittt.
*pesan dari Farahdilla*
'Hati-hati yaa di jalan, jangan lupa kabari aku kalau sudah sampe'
Saya tersenyum membaca pesan itu, sambil berucap lirih;
'Ini yang kamu rasakan pasti saat papah mu bawel yaah Far'
Hahaha
Kemudian melanjutkan perjalanan agar segera sampai ke tempat tujuan saya.
**
Far, aku benci mesin waktu.
Aku benci hal-hal yang bersifat, mengenang masa lalu, kembali, lalu kemudian memperbaiki kesalahan.
Tapi, malam ini, saya berharap punya mesin waktu untuk bisa kembali ke masa-masa bersamamu. Setidaknya saat kembali, saya akan menghentikan waktu, lalu tinggal di sana untuk waktu yang lama bersamamu.
Far,
Selang waktu berjalan kita masih sama.
Di sini tak berjalan ceritanya sama.
Apakah kita sudah bisa, berhenti mencoba.
Mencinta karena terbiasa, kau yang selalu ada, ku yang selalu ada
Membuat kita tak mampu
Tuk bisa menjauh,
Dan, menghilaang.
Far,
Sudahi sekarang tanpa mengucap kata.
Mungkin itu satu-satunya cara.
Menghilang-nya Maliq and D'essentials menemani saya menyelami masa lalu saya.
Hanya ada saya dan kenangan tentang kita di sana, sementara kamu?
Pasti sedang berbahagia yaah di tempatmu?
Far, malam ini kamu sedang apaa??
Sudah lama sekali rasanya tak bersenda-gurau denganmu.
Far, saya rindu.
Ucap saya lirih
0 komentar:
Posting Komentar