RSS

Saya Anak Mamah.

Saya mau cerita sedikit tentang seseorang yang saya rasa paling berpengaruh buat hidup saya. Dulu, sekarang, dan sampai nanti.


Seseorang yang dengan tulus menempatkan nama saya di dalam do'anya.

Seseorang yang dengan keringat dan air matanya membuat saya seperti sekarang ini.

Seseorang yang (mungkin) rela menukar kebahagiaannya dengan kebahagiaan saya.

Yup, dia adalah Ibu saya.

Calon mertua kalian.
(Buat reader blog saya yang wanita)


Saya lahir dan besar dari keluarga yang biasa-biasa ajaa.
Dengan dua orang kakak-kakak perempuan yang sama cantiknya dengan ibu saya.



Alkisah.

Hiduplah sekeluarga dipinggiran kota. Bapak berkebun dan bertani di ladang milik pak Budi, ibu menanak nasi di dapur, kakak berangkat ke sekolah, sementara adik bermain bola di tanah lapang.

Siang hari, sekembalinya bapak dari ladang, ibu sudah selesai menanak nasi. Kakak pun sudah kembali dari sekolahnya, adik? juga sudah kembali setelah bermain bola.

Mereka berkumpul di rumah untuk makan siang dan melaksanakan sholat berjamaah di rumah yang asri dan teduh.

Di sekeliling rumah, masih banyak pepohonan yang rindang dan lebat, tempat mereka sekeluarga melepas penat dan lelah dengan tidur-tidur di bawah pohon hanya dengan beralaskan tikar ukuran 2x2 meter. kicauan burung dan hembusan angin, bisa membawa mereka sedikit melupakan kerasnya kehidupan di pinggiran kota, yang setiap saat dihantui dengan perasaan was-was takut akan apa yang mereka punya sekarang tiba-tiba berubah menjadi gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik penghasil limbah, dan perumahan-perumahan elit yang untuk memimpikan tinggal di sana saja mustahil apalagi untuk memilikinya.

Ketakutan akan kehilangan mata pencaharian, karena ladang untuk berkebun dan bertani berubah menjadi singgasana megah dari sang empunya uang, kekuasaan, dan jabatan.

Kakak takut jika tak bisa melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan semakin tinggi, namun harga tinggi tak sebanding dengan esensi ilmu yang didapat. Biaya pendidikan tinggi hanya untuk renovasi bangunan sekolah dalam menampakan "eksistensi"nya saja tanpa menambah kualitas ilmu yang diajarkan dan didapatkan oleh murid. Hingga timbul lah generasi yang tau ilmu dari perkataan pengajarnya saja lalu kemudian menelan mentah-mentah tanpa mau mencari tahu lebih jauh. Sekolah dijadikan sebagai tempat untuk doktrinisasi, sehingga hanya menghasilkan generasi penerus bangsa, bukan perubah.
Toh, bangsa ini tidak butuh penerus. Apa yang mau diteruskan dari kebobrokan bangsa ini?
Bangsa ini butuh generasi perubah. Generasi yang mampu mengubah bangsa ini menjadi lebih baik lagi.


Adik takut kehilangan tanah lapang tempat bermain sepak bola, kasti, benteng, petak-umpet, galasin, dan berbagai macam permainan tradisional sederhana namun mengasyikan lainnya. Adik khawatir, tanah lapangnya berubah jadi real estate, apartemen, atau perumahan dengan mencatut nama residence lainnya, yang rumah satu dengan rumah lainnya tak ada beda. Rumah-rumah yang meski berdekatan, namun tak saling mengenal tetangga satu sama lain.
Anak-anak pun akan kehilangan masa kecil indah nan bahagia yang nantinya tergerus oleh gadget dan permainan modern lain.
Anak-anak yang berlari kencang mengejar satu sama lain, saling bersembunyi, mencari, lalu menemukan akan hilang oleh generasi yang terus menunduk.

Bukan.
Bukan menunduk karena terlalu banyak ilmu seperti halnya peribahasa padi.
Namun, menunduk menatap nanar ke arah gadget mereka masing-masing tanpa diawasi oleh orang tua yang juga sedang asyik berinteraksi dengan orang lain via media sosial.


Tidak hanya itu,
Bapak, ibu, kakak, dan adik pun khawatir kehilangan tempat tinggalnya yang juga tak luput dari gerusan pembangunan yang tak dapat dihindari.

Pembangunan dan penggusuran lahan untuk dijadikan perumahan elit nan megah, apartemen, atau gedung-gedung pencakar langit membuat mereka takut kehilangan hunian mereka nan asri dengan berbagai pohon rindang di pekarangan rumah.



Sebentar.

Kenapa tulisan saya tentang ibu ini jadi melenceng ke persoalan sosial macam gini??

Mana tulisan tentang Ibu saya?

Apaa korelasi judul dengan isi dalam tulisan kali ini?


Baiklah, saya jelaskan.

Seorang ibu, tak pernah mengungkapkan secara langsung bahwa ia sangat menyayangi anaknya.

Semarah apapun beliau, tak lain karena kasih sayanya kepada sang anak.

Do'a nya, adalah cara beliau memperlihatkan kasih sayangnya dan memeluknya.

Tidak di depan sang anak.

Melainkan langsung di depan sang Pencipta.


Tulisan saya kali ini, bukan untuk menceritakan betapa saya menyayangi beliau.



Seperti yang beliau lakukan.

Saya pun menjaga dan memeluk beliau lewat do'a.

Seraya berharap, Tuhan bersedia memberikannya kesehatan serta umur yang panjang untuk tetap bisa bersanding di samping saya seperti saat ini.

Ammiiinnn.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

6 komentar:

Bukan Blog Biasa mengatakan...

Tuhan selalu berbaik hati :)

Sabda Awal mengatakan...

terharu bacanya, hahaha
pas masuk cerita sosial, di awal paragraf persis kayak baca tulisan dengan format untuk anak SD dengan ciri ringan dan mudah dimengerti.

Kaulah ibuku abdul!

Unknown mengatakan...

Amin.
Ah, terharu :')

Unknown mengatakan...

Makasih

Unknown mengatakan...

Hehehe terima kasih mas

Unknown mengatakan...

Pasti.

Posting Komentar