Sore itu aku sudah
menyiapkan diriku untuk menemui ijah (lagi) dengan maksud untuk meminta maaf
kepadanya, meskipun aku sadar kalau permintaan maaf ku selama ini selalu
dimentahkan olehnya namun itu tak mematahkan niat ku untuk meminta maaf
kepadanya. Paling tidak kalau memang hubungan ku dengan ijah tidak dapat
kembali seperti dulu setidaknya ijah sudah memaafkan kesalahanku. Lagi pula
sebagai sahabat yang baik harusnya aku senang melihat sahabat ku senang
meskipun untuk itu aku harus menahan rasa sakit yang teramat sangat mendalam.
Segera ku kayuh sepeda
onthel ku menuju rumahnya, namun sesampai dirumahnya kembali kulihat mobil yang
sama sedang berada di depan rumah tidak lama kemudian kulihat ijah bersama
lelaki yang belum kukenal namanya itu pun keluar dari dalam rumah, kulihat
mereka bercumbu dan berpeluk mesra didepan rumah sebelum lelaki itu pamit
hendak pergi untuk pulang.
Melihat kejadian tersebut
aku seperti tersambar petir, hatiku seketika terasa hancur berkeping – keping
bibir ku terdiam tak mampu mengeluarkan kata kata lagi sementara jantung ini
terasa berhenti berdetak. Ku urungkan niatku untuk meminta maaf kepada ijah ku
putuskan biarlah hubungan ku dengan ijah berjalan seperti awal aku tidak mengenalnya.
Ku lihat dia juga sudah bahagia dengan lelaki tersebut dan tidak lagi
membutuhkan aku.
Setelah peristiwa dirumah
ijah tersebut, hubunganku dengannya makin buruk saja aku pun tidak
mempermasalahkannya ku pikir biarlah ijah bahagia dengan keputusannya biarlah
ijah pergi dengan orang yang dicintainya walaupun hati ini terasa sakit tapi
biarlah sudah buatku yang terpenting ijah bahagia walaupun aku tau disini aku
harus menahan luka karnanya.
Aku kembali ke masa awal
awal belum mengenal ijah aku kembali menjadi diriku sebelum mengenal ijah,
memang terasa ada yang kurang, terasa ada yang hampa tanpa kehadirannya tapi
biarlah toh ini juga demi kebaikan aku dengan ijah. Dan mau tak mau aku harus
mulai melupakan dia dan berpindah, meskipun sulit tapi aku harus mencobanya aku
tidak mau larut tenggelam lalu mati di masa lalu bagaimana pun caranya aku
harus bisa menutup semua pintu kenangan tentang dia dan membuka pintu baru,
meskipun pintu baru tersebut belum ada yang mampu mengisinya tapi biarlah
setidaknya pintu itu dapat memberikan ketenangan buat diriku.
Hari itu aku melihat ijah
duduk terpaku dilorong jalan menuju kelas ku, dari kejauhan aku bisa menangkap
apa yang sedang ada dipikirannya, sedang kebingungan rupanya dia ingin aku
mendekatinya untuk bertanya apa yang terjadi, namun aku sadar mungkin ijah
sudah tidak menganggap ku lagi sebagai sahabatnya. Aku pun mengurungkan niat ku
tersebut dan meneruskan langkahku berjalan melewatinya, namun tiba tiba ia
menarik lenganku dan menghentikan langkahku.
“aku mau berbicara
denganmu bud” ijah memulai percakapannya.
“maaf jah aku sedang ada
kelas”
“yasudah aku tunggu
selesai kuliah kamu, aku tunggu kamu di tempat biasa kita bertemu”.
“aku tidak berjanji akan
bisa datang”.
“kalau gitu aku tunggu
kamu disana sampai kamu datang”.
“baiklah”. Aku pun berlalu
meninggalkan ijah untuk menuju ke ruang kelas
didalam kelas pikiranku
tidak terfokus kepada kuliah yang sedang berlangsung melainkan terfokus kepada
omongan apa yang ingin dibicarakan ijah, hampir sebulan kami miss komunikasi
lalu tiba tiba dia hadir lagi dan mengajakku ke tempat biasa kami bertemu. Ini
yang menjadi pertanyaan didalam hati ku kenapa disaat aku sudah mulai
melupakannya sedikit demi sedikit tetapi ia malah datang lagi dikehidupanku.
Kuputuskan untuk menemuinya
sepulang kuliah, karna selain didasari rasa ingin tahu mengenai apa yang ingin
dia bicarakan didalam hati ku juga terdapat sedikit rindu karna sudah lama
tidak bercanda berbagi kisah dengannya.
Setelah kuliah selesai aku
bergegas menemuinya di tempat biasa kita bertemu yaitu ditaman dekat kampus,
aku dulu biasa ke taman itu dengan ijah untuk sekedar melepas penat sehabis
kuliah atau kalau kita ada janji mau pergi kita selalu bertemu ditaman
tersebut, taman ini lah yang menjadi saksi bisu persahabatan ku dengan ijah
taman ini pula lah yang menjadi saksi pertama kalinya aku jatuh cinta kepada ijah
meskipun belum sempat aku ungkapkan kepadanya tentang perasaan ku tersebut.
“maaf membuatmu menunggu
jah, aku baru selesai kuliah”. Aku memulai percakapan ku dengannya yang
terlihat sudah lama menunggu ku di taman tersebut.
“iyaa tidak apa apa ko
bud, aku juga belum lama datang”
“lalu apa yang sebenarnya ingin
kamu bicarakan jah?”
“kamu ingat tempat ini
bud?”
“iya tentu saja, tempat
ini sudah menjadi tempat bersejarah buat ku tempat ini sudah menjadi saksi bisu
persahabatan aku dengan mu”
“tidak hanya untukmu tapi
juga untukku bud, tempat ini bagaikan sebuah situs bersejarah dimana aku dan
kamu yang menjadi prasastinya, sudah hampir berapa lama kita datang ke tempat
ini yaah rasanya sudah lama sekali”
“iya sudah lama”
“waktu hubungan kita
memburuk aku selalu datang kesini berharap kamu juga datang kesini namun
harapanku hanya sekedar harapan belaka karna hampir setiap hari aku datang ke
tempat ini aku tidak pernah melihatmu datang kesini aku pikir kamu lupa akan
tempat ini”
“lalu maksud kamu
mengajakku ke tempat ini apa jah”
“bud aku tahu aku salah,
aku tidak pernah menceritakan soal rian kepadamu”
“jadi namanya rian, sudah
berapa lama kamu menjalin hubungan dengannya?”
“aku menjalin hubungannya
sudah sejak lama sebelum aku mengenalmu”
“lalu kenapa kamu tidak
pernah menceritakan soal itu kepadaku? Bukankah kita telah berjanji kalau
apapun bakal dibicarakan dan tidak ada yang ditutup – tutupi antara aku dengan kamu”
“iyaa bud memang, memang
diantara kita tidak ada yang perlu ditutup – tutupi tapi tidak soal rian”
“kenapa memang sama dia
sampai kamu tidak mau menceritakan soal dia”
“tidak bud, buat ku
hubunganku dengan rian cukup hanya aku dengan dia yang tau, bukan aku tidak mau
membagi kisahku dengan mu tapi soal urusan tersebut aku punya pemikiran sendiri
aku merasa tidak etis kalo aku menceritakan soal hubunganku dengan rian
kepadamu tapi mulai detik ini aku berjanji aku bakal terbuka denganmu termasuk
soal rian”
“mulai detik ini, apa
maksudnya?”
“aku ingin hubungan
persahabatan kita kembali seperti dulu bud, aku tau selama ini aku terlalu
egois, aku tidak berterus terang terhadapmu namun mulai detik ini aku janji aku
bakal lebih terbuka kepadamu, aku kangen dengan hubungan kita yang seperti dulu
bud aku juga kangen sama kamu yang selalu ada buat aku”
“maaf jah aku gak bisa”
“kenapa bud? Kamu masih
marah sama aku”
“tidak ini bukan soal aku
marah atau tidak dengan mu”
“lalu soal apaa?”
“bukan soal apa – apa,
maaf jah aku bukan sahabat yang baik untukmu aku tidak sebaik apa yang kamu
pikirkan”
“tapi bud”
“maaf jah aku harus pamit
masih banyak hal yang aku harus kerjakan. selamat tinggal”
Aku pun pergi meninggalkan
tempat itu dan meninggalkan ijah yang terlihat terdiam mendengar jawabanku
tadi, ini bukan soal marah atau tidak aku terhadapnya ini juga bukan soal
kekecewaan aku kepadanya tapi ini lebih kepada urusan hati ku. Aku tidak ingin
perasaan cinta itu muncul lagi saat aku dekat kembali dengannya karna untuk saat
ini aku sedang berusaha untuk melupakannya, sementara ijah pun sudah memiliki
pendamping yang lebih segala – galanya dari ku. Maka dari itu ku putuskan untuk
menolak ajakan ijah tersebut karna aku tidak mau larut, tenggelam serta mati di
masa lalu ku, buat ku biarlah perasaan ku dengan ijah hanya aku, sapri dan
Tuhan yang tahu selebihnya biarlah menjadi misteri, lagi pula aku sedang
berusaha mengubur dalam dalam perasaan ku terhadapnya biarlah ijah dan
perasaanku hanya menjadi masa lalu, bagian dari perjalanan hidupku yang masih
panjang kisahnya.
Bersambung,,,
0 komentar:
Posting Komentar