RSS

Yang terbaik yang diperbaiki

Satu persatu mereka yang saya anggap bagian terbesar dalam hidup saya pergi. Bukan pergi untuk meninggalkan saya, melainkan pergi ke tempat yang lebih baik.


Apa mereka menganggap saya tidak cukup baik?

Entahlah, mungkin mereka ingin mencari yang lebih baik, terbaik, atau paling baik dari saya.


Saya pernah mereka jadikan tempat untuk 'pulang', karena sejauh apapun manusia melangkah, pada akhirnya mereka akan kembali ke 'rumah' yang dapat memberikan mereka kenyamanan.


Tapi, mereka 'pulang' hanya sekedar singgah, bukan karena betah. Mereka singgah, karena lelah, setelah itu kembali melangkah mencari tempat 'pulang' sesungguhnya.


Saya tidak pernah menyesal, dijadikan tempat singgah semata. Kecewa pasti.


Banyak dari kalian mungkin tidak sadar, atau mungkin sadar namun terlalu naif untuk mengakuinya. Bahwa, manusia itu mahluk Tuhan paling sempurna dibandingkan mahluk ciptaan Tuhan lainnya.



Namun, sifat sempurna manusia, itu tidak akan kalian temukan dalam kehidupan nyata, karena manusia sempurna hanya ada pada novel-novel romance.


Lalu, buat apa kalian mencari hal yang tidak akan bisa kalian temukan?


Atau, jika memang kalian merasa ada yang lebih baik, terbaik, bahkan paling baik menurut kalian, apakah mereka juga menganggap kalian seperti itu?


Sadarkah kalian, bahwa yang terbaik itu justru yang diperbaiki?



Jujur, dari beberapa mereka yang singgah, saya mendapatkan banyak pelajaran. Mereka membuat saya lebih bisa memahami tiap-tiap manusia yang patah hati, lalu singgah di saya, kemudian kembali mencari tempat 'pulang'. Membuat saya lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu, membuat kita saling mendukung (awalnya) meskipun berakhir mendung.


Saya menganggap semua orang itu baik, termasuk mereka yang pernah atau berniat tidak baik kepada saya.

Mungkin, di sanalah kesalah saya.

Terlalu percaya kepada orang lain.

Tapi, saya hanya ingin mendapatkan apa yang saya ingin dapatkan juga dari orang lain.

Sesimple itu.

Karena menurut saya, ketimbang 'harus' lebih baik 'saling'

Karena, sesuatu yang di'harus'kan biasanya memberatkan salah satu pihak.

Maybe.



Satu persatu mereka yang saya anggap bagian terbesar dalam hidup saya pergi. Bukan pergi untuk meninggalkan saya, melainkan pergi ke tempat yang lebih baik.


Mungkin bagi mereka saya tidak cukup baik, atau malah terlalu baik?


Kamu terlalu baik buat aku.

*kemudian putus*

Hahaha!


Memutuskan orang yang terlalu baik, lalu mencari lagi yang lebih baik.

Hypocrite memang alibi ini.




Tapi, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat;

Janganlah, yang terbaik jadi mengecoh. Jangan habiskan waktumu untuk mencari yang terbaik dan terbaik. Karena terkadang yang terbaik itu yang diperbaiki.

- Zarry Hendrik

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Monolog

Saya pernah janji, tidak akan menangisi hal-hal yang berkaitan dengan Tuan lagi. Bercerita saja saya enggan, apalagi harus mengingat-ingat kejadian sebelumnya lalu kemudian meneteskan air mata.


Bagi saya, kecewa boleh, menyesal jangan.

Setiap kali saya mengingat hal-hal tentang Tuan, percayalah ada hal-hal yang saya sesali.

Kejadian waktu malam Tuan pergi menemui Tuhan, adalah hal yang paling saya sesali di dunia.

Bagaimana ketidaktahuan saya, bahwa hari itu Tuan sedang membutuhkan saya, tapi saya malah tidak ada di tempat untuk merawat Tuan.

Seaindainya, saya ada di tempat, saya yakin Tuan masih hidup di tengah-tengah keluarga, tertawa, bercengkrama, dan melakukan hal-hal 'ajaib' lainnya.

Kali ini, saya ingin menarik ucapan saya yang pernah berujar kalau saya tidak ingin kembali ke masa lalu.

Untuk tuan, saya ingin kembali ke malam itu, memberikan seluruh waktu dan tenaga saya untuk merawat Tuan.

Maafkan saya.

Maafkan ketidaktahuan sayaa.

Maafkan keegoisan saya.




Tuan sedang apa di sana?


Pasti sedang berbahagia yaah?


Saya percaya, kematian itu bukan akhir dari segalanya.

Mati di sini, jangan dianggap benar-benar mati, pergi, atau telah tiada.

Tuan hanya 'pindah' ke tempat yang lebih baik, di sisi Tuhan.

Raga boleh mati, tapi jiwa dan hati tetap bisa terpatri bukan?


Oia, sayaa mau cerita banyak sama Tuan, tapi nanti yaah kalau saya berkunjung ke sana, saya akan cerita. Tidak di sini.


Tuan tahu tidak?

Dua jagoan cilik kita, setiap berkunjung ke rumah hal yang dilakukan oleh mereka pertama kali adalah melihat foto tuan, lalu dengan gemasnya bilang,

"Kakek, kakek"

Saya yakin, mereka merasakan kerinduan  yang sama dengan yang saya rasakan. Tidak hanya saya dan mereka, tapi kita semua merindukan Tuan.

Tuan, akur-akur yaah sama Nenek di sana.

Jangan berantem terus, nanti dimarahin Tuhan

Hehe


Kalau ada kesempatan, jangan lupa berkunjung melihat kami, atau datang melalui mimpi kami.


Mamah sekarang punya temen ngobrol, jadi kalau saya belum pulang ke rumah, dia main ke rumah sebelah, terus ngobrol lama di sana sambil menunggu saya pulang.


Dia wanita yang kuat yaah, 

Tuan bisa ajaa cari pendamping seperti dia.

Sampaikan ke Tuhan, sisakan satu wanita seperti dia untuk saya.

Yang perhatian, pengertian, lalu kalau Tuan bandel, dia kesel tapi nangis melihat kelakuan Tuan.

Haha!

Pekerja keras, dan selalu ceria di segala kondisi.

Saya tahu, dia orang yang sangat merindukan Tuan.

Saya bisa dengar dari setiap do'a yang dilantukan hampir setiap saat.


Nanti saya cerita banyak yaah, kenapa saya menulis tentang Tuan lagi, bercerita, bahkan sampai menangis jika harus kembali mengingat hal-hal yang pernah saya lalui dengan Tuan.

Padahal janji saya tidak akan lagi.


Sudah dulu yaah, saya menyapa Tuan pagi ini.

Jangan lupa berbagia di sana yaah, sampaikan salam rindu juga untuk Nenek.

Kalian yang akuuur

Jangan bertengakar

Nanti Tuhan marah

Hehe

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

#Imho : logika atau perasaan?

Kalian tidak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa.


Tapi,

Kalian bisa memilih menikah dengan siapa.

Begitu ucap presiden Jancukers, Sudjiwotedjo.

Dan, saya percaya. Mempercayainya bahkan.


Atau, begini..

Cinta itu i-logical, gak bisa dinalarkan, tidak bisa dilogikakan.

Namun, ketika kalian menjalin hubungan dengan orang yang kalian cintai, kalian HARUS menggunakan logika kalian.

Saya lupa ituu celoteh siapa di twitter.


Bahkan, Arman Dhani pun berujar..

Yang harus diselamatkan dari berakhirnya sebuah hubungan adalah akal sehat dan Hati nurani. Bukan perasaan.


Lalu, kenapa saya mengawali tulisan saya dengan kalimat-kalimat seperti itu?

Okeh begini,

Banyak di antara mereka yang terjebak dalam sebuah hubungan yang terlalu mengedepankan perasaan dibanding akal sehat.

'Mereka' yang dimaksud di sini mungkin juga saya, percaya bahwa ketika sedang menjalin hubungan dengan lawan jenis atas nama cinta, semua hal dilakukan dengan atas dasar perasaan. Bukan logika.

Padahal, seperti yang saya bilang tadi, cintanya yang tidak bisa dilogikakan, sementara berhubungan dengan manusianya harus dengan logika.

Kenapa harus?

Demi menjaga akal sehat dan pikiran kita.


Yang setuju silahkan tepuk tangan, yang tidak setuju silahkan angkat kaki dari tulisan saya.
Ini himbauan.



Kenapa banyak kasus susah move on? Atau selalu ingat mantan?
Dan lain sebagainya, yang berujung menyakiti diri sendiri, lalu nanti timbul playing victim, saling meng-klaim bahwa dulu waktu menjalani hubungan, pasangan kamu yang salah dan kamu benar, kamu yang setia dan pasangan kamu tidak, kamu yang berjuang dan dia tidak.

Begituu terus.

Saling menyalahkan, padahal dulu pas masih dalam satu ikatan (re : pacaran) mesranya bukan main, yang menurut mereka romantis padahal di mata orang lain menjijikan pun tidak dipedulikan.


Itu karena waktu berhubungan, mereka terlalu mengedepankan perasaan atau mungkin sudah mulai ketergantungan.

Gak bisa bahagia kalau tidak dibahagiakan pasangannya.

Tolong yang begitu, pahami konsep kebahagiaan sebenarnya.


Nah, lalu apakah salah terlalu mengedepankan perasaan ketika (masih) pacaran?


Tidak.

Tidak salah.

Tapi, percayalah kalian lebih membutuhkan logika ketika berhubungan dibanding perasaan, se-cinta dan se-sayang apapun kalian dengan pasangan kalian.

Toh kan juga baru pacaran :)))




Jadi gini, adik-adik muda yang beriman dan berbahagia.

Jangan gantungkan hidup kalian ke pacar kalian.

Jangan.

Jangan gantungkan kebahagiaan kalian ke pacar kalian.

Jangan.


Coba untuk saling membahagiakan, bukan menuntut untuk harus dibahagiakan.

Karena, jiwa bukanlah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Itu kata 'Dee Lestari'

Dan, kalian tetaplah jadi diri kalian saat berhubungan dengan siapapun yang kalian cintai/sayangi, jangan pernah berubah untuk membahagiakan dia semata tapi kalian tidak bahagia.


Ini #IMHO loh yaah, boleh dipercaya, boleh tidak.





Nb :

Tulisan ini dibuat atas hasil 'diskusi' penuh emosi semalam dengan manusia yang selalu berhasil 'memaksa' saya melakukan hal-hal di luar kebiasaan saya.


Saya menyebutnya 'diskusi', padahal kita gontok-gontokkan, bahkan hampir pukul-pukulan.




Tapi virtual :))

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

#Cerpen : Akhir Perjalanan 2

Namanya Farah, wanita yang selalu bisa membuat saya ingin memberikan segala hal yang ada di dunia untuknya.


Saya bersungguh-sungguh.

Sejak bertemu dengannya, entah kenapa bagi saya, Farah adalah wanita yang luar biasa. Wanita yang bisa menerima kekurangan saya untuk dilengkapi olehnya, wanita yang mampu membuat saya menjadi pria paling beruntung karena disayang olehnya.

Farah yang dengan segala sifat ajaibnya mampu membuat saya yang dingin -menurut teman-teman saya- berasa jadi 'hangat' jika didekatnya, segala hal yang diperbuat olehnya mampu menyihir saya dan membuat saya lebih bergairah dalam menjalani hidup.

Farah mampu mengubah hidup saya yang monoton.

Walaupun, sesekali 
dia juga mampu menunjukan sikap dewasanya di depan saya jika kami sedang membicarakan hal-hal serius.


Malam ini..

Saya merindukannya..

Sungguh..


**

"Aku bosan mas hidup di Jakarta"

Ucap Farah sambil meletakan kepalanya di bahu saya.

Malam ini, kami sedang berada di sebuah cafe dibilangan Cilandak, Jakarta Selatan, cafe yang merupakan tempat favorit Farah dalam melepas penat. Dan, sekarang cafe ini juga jadi tempat favorit bagi saya, karena Farah hampir tiap seminggu sekali mengajak saya ke sini.

"Bosan kenapa sayang?"


"Iya, bosan aja mas. Kota ini terlalu ramai"

"Loh, ya wajar saja, kan ini Ibukota Negara"

"Ihh mas ini"

Farah mencubit kedua pipi saya dengan gemasnya sampe menimbulkan warna merah. Hal ini lah yang selalu ia lakukan jika jawaban saya tak sesuai dengan ekspektasiya, maksud saya, jika dia merasa jawaban saya tidak singkron dengan pernyataan yang dia lontarkan.

"Aww!! Sakit tauuk!"

Ucap saya dengan berpura-pura marah, padahal saya suka dengan sikapnya.

"Maaf mas maaf, terlalu keras yaah"

Sambil mengusap kedua pipi saya dengan manja seakan-akan ingin mengobati sakit tadi sehabis dicubit olehnya.

"Maksud ku begini mas, aku butuh kesunyian, aku butuh ketenangan"

"Lalu?"


"Aku ingin setiap pagi, dibangunkan oleh suara burung-burung berkicauan, udara segar khas pedesaan, pemandangan alam yang memanjakan mata, senja yang indah, lalu bintang yang bertaburan di malam hari"

Saya terdiam mendengar pemaparan Farah, dan berusaha menyimaknya dengan seksama.



"Hal yang sepertinya mustahil didapatkan di sini mas, di Jakarta, yang makin hari makin penuh sesak dengan populasi manusia yang menggantungkan harapan serta cita-cita mereka"

"Mas?"

"Mas?"


"MAS!! Ihh"


"Maaf, maaf sayaang aku sedang mengkhayalkan apa yang barusan kamu paparkan, lalu maumu gimana?"


"Aku pengin, suatu hari nanti, kelak jika aku dan kamu menikah lalu punya anak, kita pindah dari Jakarta menuju ke tempat yang membuat kita bisa memperkenalkan anak kita dengan alam mas"


"Lalu?"

Tanya saya antusias mendengar setiap kata yang terucap dari bibirnya yang ranum.


"Jika nanti anak kita perempuan, aku akan mengajarkannya menyulam, menjahit, lalu akan ku ajarkan dia memasak masakan kesukaanmu mas, mengajaknya pergi ke sawah..."


"Kalau laki-laki?"


"Kalau laki-laki, kau bisa mengajaknya berburu ikan di laut, naik gunung, membajak sawah, mengajarkannya bermain suling bambu"


"Hah?? Aku kan tidak bisa melakukan itu semua, bagaimana nanti bisa mengajarkannya"


"Ohh, iyaa yaah? Yasudah nanti aku yang mengajarkannya saja"


"Memangnya kamu bisa?"


"Tidak juga sihh"


"Lah lalu bagaimana?"


"Ahh yaa sudahlah begitu pokonya, kamuu ini"


Farah mengacak-acak rambut saya, karena menganggap saya telah mengacaukan imajinasinya.


"hahahah, kamu diapain saja tetep ganteng yaa Ben"


"Tidak usah menyindirkuu"



"Bagaimana hubunganmu dengan dia?"


"Ben.."


"Tidak, tidak, aku hanya pengin tau saja"


"Sudah malam Ben, sebaiknya kita pulang"


"Far??"


"Yuk Ben, aku enggak mau kita kemalaman, kasihan kamu nanti terlalu larut pulangnya"


"Iyaudah yuk"


**


Saya masih ingat setiap detik percakapan yang kita buat Far. Segalanya berjalan begituu lama, sejak kepergianmu.
Hingga meninggalkan luka yang menganga, yang entah kapan dapat ditutupi dengan rasa yang pernah ada.

Segalanya berubah Far, hanya ada hitam, kelabu. Pekat lebih tepatnya.


Mungkin benar kata Faisal Reza, 'ada beberapa hal yang tidak bisa dipaksakan di dunia. Kita, salah satunya'


Tapi Far, jika suatu saat kamu membaca tulisan ini atau paling tidak semesta berbaik hati mempertemukan kita dalam keadaan tidak disengaja, aku pastikan bahwa aku akan baik-baik saja, dan ditinggalkan mu, aku tidak merasa bahwa hidup ini akan berakhir dengan sia-sia.



Tapi, kamu juga pasti sadar.

Paragraph terakhir adalah sebuah kebohongan terbesar dalam hidup saya.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

#Cerpen : Akhir Perjalanan

Saya selalu kesulitan menentukan awal kalimat dari sebuah tulisan yang saya buat.


Saya yakin, mereka yang suka menulis juga merasakan hal yang sama.


Atau, hanya saya saja yang merasa seperti itu?


**

"Mau pesan apa mas?"

"Mas, mau pesan apa??"

...


"Mas, mas"

"Eh iya mba"

Lamunan saya tiba-tiba dihentikan oleh suara seorang waiters di sebuah cafe di kawasan Cilandak, Tempat saya berada malam ini.

"Maaf mas, mengagetkan"

"Oh iyaa mba, gapapa, ada apa mba?"

"Ini, masnya mau pesan apaa?"


"Espresso mba, gak pake gula"


"Espresso? Gak pake gula?"


"Iyaa mba"


"Baik, ditunggu ya mas"



"Iya mba, makasih"


Tiga bulan lalu terakhir kali saya mendatangi tempat ini, padahal dulu hampir setiap minggu saya tak pernah absen mengunjungi tempat ini.

Dulu, 

Waktu saya masih bersama kamu.

Kini, setelah 3 bulan sejak kepergian mu ini pertama kalinya saya mengunjungi tempat ini lagi.


Ya, anggap saja saya sedang 'ziarah' mengunjungi kenangan bersama mu.


Kamu begitu suka dengan cafe ini, saya dulu tidak mengerti tapi berusaha memahami.

Cafe dengan desain vintage, dan agak klasik ini menghadap ke bahu jalan, tempat di mana para pengunjung dapat melihat kondisi jalan di jakarta yang -entah mau disebut apa- karena sudah bingung saya menyebutnya.

Pengendara motor di trotoar, tempat yang seharusnya jadi tempat bagi pejalan kaki.

Pengendara mobil yang mau saya bilang bodoh karena membunyikan klakson di saat keadaan macet tapi saya tidak tega menyebutnya bodoh.

Atau, pengendara motor yang sibuk ngomel karena bagian belakang motornya ditabrak motor yang di belakangnya, karena ingin menyalip.

Hahaha.

"Maaf mas, ini pesanannya"

"Oh iya terima kasih mba"

"Oia maaf mas, ko tumben baru kelihatan lagi? Biasanya tiap minggu hampir selalu ke sini kan sama pacarnya hehehe"

"Dia sedang pergi mba"

"Pergi ke mana mas kalau boleh tau"

"Ke bulan mba"

"Ahh mas ini bisa aja bercandanya deh"

"Dia pergi dengan orang yang tepat mba, dan bukan saya"

"Ohh maaf mas"

"Iya mba gapapa"

"Permisi mas"


***

"Aku mau putus"


"Putus? Ta..tapi kenapa?"


"Aku merasa tidak cocok lagi dengan kamu"


"Tidak cocok? Maksudnya?"


"Sudahlah! Kau selalu sibuk dengan dunia mu, bahkan hampir selalu tak punya waktu untuk ku"


"Sibuk? Aku sibuk juga sedang berusaha untuk membahagiakan mu, kalau aku tak bekerja, mengurusi klien sana-sini kapan aku bisa mengumpulkan uang untuk menikahimu"


"Kau pernah mengucapkan kalimat yang sama 1 tahun yang lalu"


"Iyaa tapikan..."


"Sudahlah ben, aku tak kuat lagi jalani hubungan ini dengan mu. Aku capek selalu jadi prioritas -entah keberapa dalam hidupmu-"


"Tapi far, aku melakukan ini semua untuk mu. Aku bekerja dari pagi bahkan sampai larut malam semata-mata untuk mewujudkan impian kita, menjalin rumah tangga denganmu"


"Aku paham ben, dan berusaha untuk mengerti. Tapi maaf, aku telah sampai di ujung batas pengertian ku, aku tidak bisa selamanya seperti ini. Aku ingin diperlakukan seperti wanita lainnya, aku ingin mendapatkan hal yang sama seperti yang wanita lain dapatkan dari kekasihnya"


"Far..."


"Maafkan aku ben, terima kasih untuk semuanya"


"Faar.."


"Ben! aku pergi dulu, jaga diri kamu baik-baik, jangan lupa jaga kesehatan, dan jangan terlalu banyak minum kopi, ingat asam lambungmu"


**

Aku masih ingat betul kalimat terakhir yang kamu ucapkan ketika mengakhiri hubungan kita. Bahkan sampai raut wajahmu, tatapan matamu, aku ingat betul.

Dan, tempat ini.

Masih terasa begitu banyak hal tentang kita.

Pelukan hangat disertai cumbuan mesra yang kita curi-curi agar tak ketauan pengunjung lain.


Tangisan air mata kesedihan, saat kamu ceritakan segala masalah yang didapati di kantor tempat mu bekerja.


Air mata kebahagiaan, saat tau dirimu mendapatkan promosi jabatan.


Semuanya kini tersimpan rapih di dalam ingatan ku, Far..

Dan, tak ada niat untuk ku hapus.

Sungguh.

Biarkan semuanya mengendap, menelusuk jauh di dalam ingatan ku.


Dan, jika aku sedang ingin ber'ziarah' mengunjungi kamu dengan kenangan mu. Cafe ini adalah tempatnya.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

balik kapan? Mamah lu udah bawel di rumah

Saya pernah gagal.


Tidak.

Saya pikir, kalimat tersebut tidak pas untuk mengawali tulisan kali ini.


Kalau begitu, mari merenung sejenak berpikir kalimat apaa yang tepat untuk mengawali tulisan kali ini.




**


Bang, pulang kapan?

Baik-baik ajaa kan di sana?

Udah makan belum?

Jangan lupa sholat yaah, baik-baik di sana.


Suara parau itu terdengar begitu gagah di seberang sana

Suara yang begitu saya kenal.


Tak lama kemudian.

Terjadi perdebatan kecil terdengar dari sumber suara yang entah apa, tapi saya tidak ada niat untuk melerai perdebatan tersebut.

Yang ada?

Saya malah tertawa renyah.


Tak lama, suara parau nan gagah tersebut berubah menjadi sangat lembut.


Pulang kapan?

Gimana di sana?

Baik-baik aja kan?

Hati-hati, kalau mau apa-apa do'a dulu jangan lupa sholat yaah.


Suara yang sekali lagi saya kenal dan sayaa rindukan.


Ekor mata saya mengembang, ada air yang mengalir di sana setelah mendengar suara dua manusia 'ajaib' yang telah 'memaksa' saya hadir di Bumi ini.



Iyaa, acim baik-baik ajaa.


Minggu depan baru balik, soalnya tiketnya keabisan.


Oia, mau oleh-oleh apaa?




Tau nih mamah lu mau apaa?


Ditanya tuh sama anaknya.


Lagi-lagi perdebatan terjadi dan saya tak bisa melerainya, malah menikmati.

Jahatnya saya sebagai anak

Hahah.


Jujur buat saya, hal-hal seperti ini tak pantas dilerai. 

Nikmati saja selagi masih bisa.



Gak, gak mau apa-apaa

Cuma mau abang pulang terus nyampe rumah baik-baik ajaa. Sehat.


Lagi-lagi ekor mata saya mengeluarkan air mata.

Bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan.


Saya bahagia mendengar permintaan sederhana dari mereka.




Cuma gini bang, kemeja bapak kan udah kekecilan semua nih udah gitu warnanya itu-ituu ajaa.

Mamah lu juga kan keabisan baju buat kalau pergi-pergian, katanya di sana baju murah-murah kan??




Ahhh kampret.

Tadi bilang anaknya suruh pulang dengan baik-baik aja gak mau apa-apaa..

Hahha

Tapi ujung-ujungnyaa.


**


Maaf Tuan.

Saya melanggar janji sayaa.

Saya pernah bilang tidak akan menuliskan segala kekonyolan kita di tulisan saya.

Tapi, ada satu manusia yang berhasil 'memaksa' saya kembali mengingat beberapa peristiwa di belakang saya dan menarasi kan di depannya.

Dan, 

Jujur kali ini sayaa rinduuu.

Rindu dengan 'balik kapan? Mamah lu udah bawel di rumah' yang keluar dari mulut parau mu.






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS